Nengah Sudja
Badan Tenaga Nuklir Nasional mencanangkan pembangunan reaktor daya non-komersial atau reaktor daya eksperimental di Kompleks Puspitek Serpong , Banten , pada 2015. RDE yang intinya pembangkit listrik tenaga nuklir mini diklaim bisa menghasilkan listrik 10-30 megawatt dan diharapkan beroperasi sebelum 2019.
Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot Susilo Wisnubruto dalam siaran persnya menjelaskan , reaktor daya eksperimental (RDE) merupakan suatu taktik pemerintah untuk mengenalkan reaktor nuklir yang menghasilkan listrik sekaligus sanggup digunakan untuk eksperimen/riset.
Djarot mengklaim bahwa RDE yang dipilih yaitu generasi ke-4 yang mempunyai teknologi keselamatan tinggi dibandingkan dengan RDE generasi sebelumnya. Lebih jauh dikatakan , RDE merupakan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) mini yang pada masa depan sanggup diaplikasikan di daerah yang tidak membutuhkan daya besar , terutama di wilayah bagian tengah dan timur.
Publik perlu penjelasan
Pernyataan bahwa teknologi RDE yang dipilih yaitu generasi ke-4 perlu mendapatkan penjelasan dari Batan. Apa benar sudah ada RDE generasi ke-4? Pemakaian istilah teknologi generasi ke-1 , ke-2 , ke-3 , dan ke-4 selama itu ditujukan untuk PLTN komersial , bukan untuk reaktor riset. Adapun PLTN komersial sejauh ini gres mencapai generasi ke-3+ dan masih pada tahap konstruksi , ibarat European Pressurised Reactor (EPR) untuk PLTN Olkiluoto 3 di Finlandia dan PLTN Flamanville di Perancis.
Dari banyak sekali literatur terbaru , teknologi PLTN generasi ke-4 masih dalam fase desain dan pengembangan. Diperkirakan dalam dua dekade ke depan gres masuk tahap komersial. Oleh alasannya yaitu itu , pernyataan Kepala Batan akan membangun RDE generasi ke-4 yaitu klaim yang tidak berdasar dan , bahkan , bisa dikategorikan pembohongan publik.
Dalam konteks pengembangan teknologi , proses pembangunan suatu produk lazimnya melalui empat tahap. Tahap pertama berupa gagasan atau ajaran , tetapi sudah terbayang bentuk teknologi untuk masa depan.
Tahap kedua pembuatan dan pengujian komponen-komponen di laboratorium dilanjutkan dengan pengembangan prototipe sebagai upaya pembuktian teknologi dan terbayang kemungkinan untuk diproduksi. Tahap ketiga produksi dan komersialisasi , di mana teknologi diproduksi dan dipasarkan alasannya yaitu dari uji coba prototipe terbukti bekerja sesuai dengan yang direncanakan. Tahap keempat yaitu pengujian lanjutan selama umur operasi teknologi.
Teknologi PLTN generasi ke-1 hingga ke-3 , yang telah beroperasi semenjak tahun 1950-an , ketika ini dinilai sangat mahal dan tidak layak secara hemat serta secara teknis tidak kondusif dan berbahaya. Pilihan PLTN pun mulai ditinggalkan banyak negara maju: Austria , Italia , Swiss , Spanyol , Swedia , Belgia , Denmark , dan Jerman. Pembangunan PLTN di AS juga terhambat alasannya yaitu alasan keekonomian walaupun pemerintah menawarkan banyak sekali insentif untuk mendorong investasi.
Pembangunan RDE direncanakan Batan seharusnya tahap kedua walaupun bergotong-royong Batan tidak menciptakan dan melaksanakan pengujian komponen RDE di tingkat lab. Mengingat proyek ini memakai anggaran negara , publik tentu berhak tahu apa kajian yang menjadi dasar ajuan tersebut? Teknologi apa yang hendak digunakan dan bagaimana prospek kelayakan tekno-ekonomisnya? Bagaimana kajian sosial , lingkungan , dan risikonya? Karena memakai dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) , sudah selayaknya banyak sekali dokumen yang menjadi dasar perencanaan sanggup diakses dan dikritik oleh publik.
Rusia dan APBN RI
Baru-baru ini juga diberitakan bahwa pekerjaan desain RDE telah dimenangi oleh pihak Rusia. Meninjau status teknologi PLTN mini , ketika ini publik berhak curiga apakah proyek ini merupakan bentuk riset teknologi pihak abnormal (Rusia) yang justru didanai dengan APBN Republik Indonesia?
Batan juga mengklaim Indonesia paling siap mengoperasikan PLTN di ASEAN dikarenakan telah berpengalaman mengoperasikan tiga reaktor riset. Sayangnya , Batan tidak menjelaskan perbedaan fundamental antara reaktor riset dan reaktor daya. Reaktor riset yang desain baskom reaktornya terbuka , bertekanan , dan bersuhu rendah lebih gampang dioperasikan dan berisiko rendah dibandingkan dengan reaktor daya (PLTN) yang desain bejananya tertutup , beroperasi dengan tekanan 150 atmosfer , dan suhu tinggi 350 derajat celsius untuk sanggup menghasilkan uap yang memutar turbin/generator listrik.
Pada reaktor daya terdapat risiko critically accident yang sanggup menjadikan pelelehan teras PLTN dan berdampak mengerikan serta terbukti terjadi pada reaktor PLTN yang beroperasi ketika ini. Risiko ini tidak pada reaktor riset.
Batan tampaknya mencoba meredam risiko RDE dengan menyamarkannya sebagai reaktor riset. Apakah kajian risiko dipertimbangkan sehingga PLTN mini ini dengan gampang ditetapkan akan dibangun di Serpong yang dalam tempat radius 5 km dihuni lebih dari 200. 000 orang? Apakah warga di Serpong , Bintaro , Tangerang , dan Jakarta sanggup mendapatkan dan menyetujui risiko kecelakaan PLTN mini?
Kelayakan tekno-ekonomi
Batan menyatakan pembangunan PLTN kecil ini akan siap beroperasi pada 2019. Kalau tahap kedua pembangunan prototipe benar sanggup diselesaikan pada 2019 , berapa tahun diharapkan lagi untuk melaksanakan uji coba operasi untuk pertanda kelayakan tekno-ekonominya?
Asumsikanlah sesudah 10 tahun gres akan diketahui keberhasilan atau kegagalannya. Kalau gagal , berapa nilai kegagalan itu? Pada setiap anggaran acara , ibarat untuk menciptakan studi kelayakan , pembangunan proyek prototipe , biaya operasi , dan pemeliharaan selama operasi diasumsikan 10 tahun. Kemudian dilakukan audit pertanggungjawaban kelayakan tekno-ekomisnya. Setelah itu , berapa tahun lagi diharapkan untuk hingga pada tahap ketiga untuk memproduksinya secara besar-besaran.
Di media massa sanggup dibaca Pengumuman Lelang Pengadaan Jasa Konsultasi Penyusunan Dokumen Desain Rekayasa Awal RDE sebesar Rp 49 miliar untuk penyusunan Desain Rekayasa Awal. Kalau ini gres biaya awal , tentunya biaya lainnya masih ada lagi. Berapa asumsi seluruh anggaran yang diharapkan untuk perencanaan dan konstruksi RDE? Karena memakai APBN , demi asas good governance , planning anggaran ini sepatutnya dibuka kepada publik , mengikuti model e-budget Provinsi DKI Jakarta.
Alternatif RDE
Pertanyaan lanjutan: kapan hasilnya RDE ini sanggup diaplikasikan , semenjak perancanangan tahun 2015 , kemudian beroperasi tahun 2019 , dan selesai percobaan uji kelayakan. Diasumsikan gres sesudah 2029 , RDE gres bisa diaplikasikan secara massal ke daerah- daerah yang terpencil , ibarat yang dijanjikan Kepala Batan.
Coba bandingkan , jikalau pemerintah memakai anggaran untuk RDE dalam 10 tahun mendatang untuk menyebarkan teknologi energi terbarukan sehingga bisa menyediakan listrik di daerah-daerah terpencil dengan memanfaatkan sumber daya energi terbarukan setempat. Strategi ini tentunya lebih cepat meningkatkan elektrifikasi dan mengatasi pemadaman listrik di wilayah terpencil di seluruh negeri ini ketimbang menunggu hasil RDE.
Galileo Galilei (1564-1642) , ilmuwan dan perintis ilmu modern , pendorong terjadinya perubahan budaya dari kurun kegelapan ke kurun pencerahan (bersama Copernicus , Newton) , pernah menyatakan , kalau ingin maju , "Ukur semua , dan yang tak sanggup diukur buat jadi terukur."
Rencana RDE ini pun harus sanggup diukur dengan presisi sehingga dilema akan jadi lebih transparan dan jelas. Dengan demikian , publik sanggup menilai planning pembangunan PLTN ini berlandaskan pada data , informasi , dan fakta , bukan gosip. Semoga bangsa ini cepat maju dan sanggup memenuhi kebutuhan listriknya.
Nengah Sudja; Sekretaris Komisi Persiapan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (1970-1980-an)
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Menggugat Rencana Pltn Mini"