Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Kota Cerdas Dan Pertentangan Ruang

Mohamad Burhanudin

Gagasan kota cerdas tengah menjadi tren di negeri ini. Di hotel berbintang , kampus , gedung pemerintahan , dan di kantor forum swadaya masyarakat , kota cerdas menjadi tema pembicaraan hangat. Sejumlah kota , bahkan , telah menegaskan klaimnya sebagai Si Cerdas.

Media arus utama tak ketinggalan membuat liputan khusus ihwal hal ini. Para pakar silih berganti mendedahkan konsep dan pendapat mereka ihwal kota cerdas. Pemerintah kota seakan kehilangan marwahnya kalau tak mengadopsi atau setidaknya menyatakan diri mereka sedang berproses ke sana. Bermiliar dana dikerahkan untuk jaringan internet bebas saluran beserta aplikasinya. Singkatnya , kota dibayangkan akan menjadi layak huni lewat teknologi.

Maka demikianlah kota cerdas bermetamorfosis sebagai frasa besar. Dia tiba-tiba menjadi apa yang disebut George Orwell sebagai newspeak beserta sinonimnya , ibarat kota berakal , kota siber , dan kota digital , sebagai solusi terintegrasi akan kasus perkotaan. Dengan cepat beliau menggeser frasa-frasa usang yang sebelumnya pernah pula tampil sebagai tren tata kelola kota di negeri ini , ibarat kota hijau , e-governance , kota berdikari , bahkan kota anti korupsi. Frasa-frasa yang begitu cepat terkubur dikala realisasi masih kabur. Pertanyaannya , akankah kota cerdas bernasib sama , layu sebelum berkembang?

Kontradiksi ruang

Kota-kota di negara berkembang , termasuk di Indonesia , pada umumnya dihadapkan pada tata ruang dan kelola yang tidak sanggup mengantisipasi cepatnya pertumbuhan di banyak sekali bidang dengan baik. Perencanaan yang ada cenderung menjadi pengabdi dan pelestari kepentingan pasar dibandingkan dengan penciptaan keseimbangan ruang hidup insan dan lingkungannya. Yang terjadi kemudian yaitu eksekusi alam atas eksklusi ruang-meminjam istilah Habermas-yang berupa banjir , kemacetan kemudian lintas , konflik lahan , sampah , kriminalitas , dan lain sebagainya.

Henri Lefebvre , seorang filsuf Perancis , menyebut permasalahan ruang perkotaan yang muncul akhir lebih kuatnya kendali modal dalam kebijakan perencanaan perkotaan tersebut sebagai pertentangan ruang. Kontradiksi ini menempatkan ruang sekadar dalam kacamata konsumsi , yang membawa efek destruktif dalam bentuk konsumsi ruang yang kian mendorong insan kota menjadi mesin keserakahan. Dampak berikutnya yaitu hadirnya ketimpangan alasannya yaitu distribusi pembangunan hanya ditentukan oleh logika modal.

Tengoklah , betapa gampang mal , perumahan dan apartemen glamor , superblok , minimarket sampai hipermarket , gerai ayam goreng , dan hotel di ruang yang semestinya tak diperuntukkan untuk pembangunan tempat-tempat tersebut. Kemunculannya jauh lebih gampang daripada hadirnya ruang-ruang terbuka hijau. Setiap sudut kota dipenuhi dengan perayaan-perayaan atas konsumsi , ibarat di mal , hipermarket , superblok , sampai papan iklan yang bertebaran di setiap sudut kota. Manusia hanya sibuk dan lelah demi perayaan itu. Relasi dan kohesi sosial tergerus , kejahatan-kejahatan kota secara kuantitatif meningkat demi mengikuti roda konsumsi.

Ketimpangan yaitu wujud lain dari pertentangan di samping keserakahan konsumsi. Urbanisasi yang tak terkendali yaitu kasus yang hadir dari ketimpangan ini. Bank Dunia memperkirakan , dikala ini jumlah penduduk di perkotaan di Indonesia lebih dari 50 persen dari populasi. Tingginya urbanisasi mengatakan besarnya ketimpangan pembangunan antardaerah di Indonesia. Ledakan penduduk seiring urbanisasi membuat kota-kota di Jawa kesannya tumbuh dan dibangun dengan melawan sejarahnya dan tata ruang yang semestinya.

Alih-alih mendorong pertumbuhan ekonomi , urbanisasi membuat kantong kemiskinan gres dan membuat problem perkotaan kian kompleks alasannya yaitu antisipasi duduk kasus tak direncanakan semenjak awal. Maka , buruknya pasokan air higienis , sanitasi , jalan raya , drainase , dan ruang terbuka gampang dijumpai di kota-kota di negeri ini. Permukiman kumuh kian meluas. Permukiman layak tak bisa dijangkau sebagian besar warga.

Akibatnya , jurang kaya-miskin makin menganga. Individualisme kian liar. Jalan kota yang semrawut , macet , dan rawan kecelakaan yaitu cerminan kian tumpulnya nilai toleransi insan kota di hadapan individualisme , di samping buruknya penataan transportasi dan tak sepadannya jalan dengan jumlah kendaraan.

Teknologi sebagai alat

Sejauh ini kota cerdas diidentikkan sebagai konsep penataan kota yang terintegrasi , berbasis jaringan teknologi digital , dengan memanfaatkan arsitektur jaringan internet. Dari jaringan itu dibangun sebuah ekosistem digital yang memungkinkan masyarakat dan pengambil kebijakan mencari , mengakses , mentransfer , dan mendesiminasi gosip urusan perkotaan. Sampai di situ , tampak , kota cerdas menuntut adanya infrastruktur jaringan teknologi gosip digital di kota. Sebagai alat , beliau sanggup membantu insan menata kotanya lebih baik.

Pun , sebagai alat , teknologi gosip akan mempunyai tugas signifikan bagi hadirnya kota yang layak huni , nyaman , dan manusiawi kalau pertentangan ruang perkotaan terselesaikan. Menyelesaikan pertentangan ruang berarti menyusun kembali perencanaan tata ruang kota yang didasarkan pada banyak sekali ragam rujukan nilai yang melatarinya  sehingga kota-kota mempunyai sejarah dan keragamannya sendiri , bukan sekadar berdasarkan logika konsumsi atau pasar. Menyelesaikan pertentangan juga bermakna menuntaskan ketimpangan dan mengakibatkan elemen ruang yang terpinggirkan , ibarat wilayah luar Jawa , desa , daerah kumuh , dan masyarakat miskin dalam pembangunan , bukan sebagai patologi ruang.

Dengan infrastruktur digital itu , sejumlah kota modern dunia telah dinobatkan sebagai kota cerdas , ibarat Barcelona , Vancouver , Amsterdam , Singapura , dan Toronto. Namun , di kota-kota itu tugas jaringan teknologi digital hanyalah membantu mengintegrasikan infrastruktur kota yang sudah memadai , tata kelola ekonomi yang telah stabil , dan ketersediaan layanan publik yang baik menjadi semakin gampang diakses publik secara real time. Artinya , pertentangan ruang sudah selesai di kota-kota itu.

Sayangnya , implementasi kota cerdas di Indonesia  sejauh ini gres sekadar berupa pengadaan jaringan internet di banyak sekali sudut kota , aplikasi digital , dan ruang kendali. Langkah itu nyaris tak dimulai dengan atau disertai oleh pergerakan yang revolusioner dalam menata kembali kota guna menuntaskan kontradiksi.

Kota-kota di Indonesia tumbuh dan berkembang dengan perencanaan kolam centang-perenang. Tren wangsit penataan timbul karam alasannya yaitu hanya dirancang untuk kepentingan politik sesaat elite lokal atas nama pencitraan.

Menjadikan kebijakan kota cerdas untuk kepentingan pencitraan politik sah-sah saja. Namun , apabila tanpa disertai dengan kebijakan menuntaskan pertentangan ruang secara berkelanjutan , kota cerdas barangkali hanya akan menjadi tren sesaat , tanpa sempat menghadirkan kota yang nyaman , layak huni , dan manusiawi.

Mohamad Burhanudin; Spesialis Komunikasi pada Pusat Transformasi Kebijakan Publik; Pemerhati Masalah Urban

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Kota Cerdas Dan Pertentangan Ruang"

Total Pageviews