Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Insan "Selesai"

Indra Tranggono

Seorang menteri , pejabat tinggi , atau tokoh nasional yang sebelumnya menunjukkan kinerja baik dan mengundang respek publik mendadak terjerat korupsi. Publik tak kaget lagi , apalagi menangisi. Antiklimaks dalam karier politik seseorang sudah terlalu sering terjadi.

Bunuh diri eksistensial atas tokoh penyelenggara negara jadi kenyataan rutin. Ada banyak nama terkubur dengan watu nisan "koruptor". Negeri ini pun (berpeluang) bermetamorfosis jadi kuburan nama baik , kehormatan , harga diri , dan martabat dari banyak tokoh nasional yang gagal melawan godaan korupsi.

Tak ada jaminan apa pun terkait pejabat publik yang mempunyai kekayaan melimpah lantas tidak mencuri duit negara. Korupsi lebih bersahabat bekerjasama dengan kesentosaan dan mutu mentalitas insan yang mempunyai rasa cukup. Penyelenggara negara yang mempunyai rasa cukup cenderung tak terpengaruhi korupsi. Sikap moral yang terkandung di dalam rasa cukup mendorong insan berdamai dengan dirinya sendiri. Pertarungan melawan segala godaan berupa pamrih material pun selalu dimenangi.

Damai dengan diri sendiri lahir dari pergulatan nilai yang berlangsung sengit dalam batin manusia. Manusia yang selalu ndangak (memandang ke atas dalam konteks kepemilikan material) selalu merasa kurang atas apa yang sudah digenggamnya. Akibatnya , insan ngongso (selalu mencari dan mengambil) secara material demi memenuhi kepuasan yang tanpa ujung. Manusia pun menderita kemiskinan mental dan spiritual. Meski depositonya tak terhitung lagi dan kekayaannya super melimpah , tetap saja masih merasa sebagai orang miskin. Duit dan segala bentuk material jadi obsesi nan tak pernah selesai. Rasa syukur tak dimiliki. Keinginan membuatkan dengan sesama cenderung dihindari lantaran takut harta bendanya tergerogoti. Takut miskin berandil besar atas maraknya korupsi di negeri ini.

Kekayaan eksistensial

Sastrawan dan rohaniman YB Mangunwijaya secara sederhana merumuskan orang kaya sebagai orang yang mempunyai banyak kemungkinan atau pilihan meningkatkan diri secara eksistensial. Dalam pandangan sastrawan itu , kekayaan tak selalu bekerjasama (identik) dengan hedonisme material/biologis dan hedonisme psikologis. Kekayaan ialah himpunan nilai yang menjadi modal bagi insan melaksanakan pembudayaan dan pemberadaban diri. Dalam konteks idealisasi itu , otomatis orang kaya selalu berbudaya dan beradab. Berbudaya lantaran dengan kekayaannya , seseorang berpeluang besar melaksanakan banyak sekali perubahan mental dan spiritual demi meraih kejayaan eksistensial (manusia bermartabat tinggi). Beradab lantaran dengan nilai-nilai budaya itu , insan mempunyai etika dan etos daya cipta tinggi sehingga berkemuliaan hidup.

Terkait kemuliaan hidup , inti dilema insan terbesar tercakup dalam lima hal mendasar: etika , budi , saintika , estetika , dan keterampilan teknis. Etika mengharuskan insan berorientasi pada kebaikan moral. Logika mewajibkan insan bisa rasional dan obyektif/adil. Saintika mendorong insan mempunyai kecukupan ilmu dan pengetahuan biar verbal dan aktual- isasi dirinya selalu kontekstual-fungsional.  Estetika menuntun insan pada keindahan , kehalusan budi , dan kesantunan perilaku. Adapun keterampilan teknis bekerjasama dengan upaya mewujudkan kreativitas. Manusia berguru sepanjang hayat.

Manusia yang mempunyai rasa cukup secara material layak disebut insan "selesai" atau insan yang sukses gemilang mengatasi segala godaan duniawi sehingga bisa lahir jadi insan gres yang mempunyai potensi berupa etika , budi , saintika , estetika , dan keterampilan teknis. Berbasis integritas , akad , dan pengabdian , semua potensi itu diaktualisasi dalam kehidupan sosial. Manusia "selesai" ialah insan yang peduli pada kemuliaan hidup dan menghasilkan karya besar kebudayaan demi memperkuat nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Keterpurukan negeri ini secara kebudayaan dan peradaban salah satunya disebabkan sedikitnya kehadiran insan "selesai" dalam banyak sekali lini dan bidang kehidupan , terutama penyelenggara negara , politisi , dan pengusaha.

Kebanyakan yang ada ialah insan yang masih digelayuti sikap mental "tak merasa cukup" secara serius. Akhirnya tugas sosial , politik , dan ekonomi dipahami hanya sebatas wahana perburuan kepentingan dan untung yang berujung pada terpenuhinya obsesi material. Penghayatan perasaan selalu "miskin" (selalu merasa kurang) mendorong mereka bergerak liar , menyeruduk ke segala arah , membobol kantong kekayaan negara: hasil pajak , migas , hingga APBN/D.

Kekuasaan ialah godaan paling anggun sekaligus jahat. Hanya insan berkarakter "selalu merasa kurang" yang tergilas jadi korban. Celakanya , rakyat turut jadi korban , padahal tak menikmati apa-apa. Indonesia yang selamat dan sehat butuh surplus insan "selesai" yang bisa melampaui kepentingan personalnya. Atau , para penyelenggara negara dan politisi yang masih punya rasa aib menumpuk kekayaan , sementara rakyat sesak napas didera kemiskinan dan penderitaan. "Masihkah kalian tega nyolong , padahal sudah sangat kaya? Kurang apa lagi , coba??? Jangan ngongso tho."

Indra Tranggono; Pemerhati Kebudayaan

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Insan "Selesai""

Total Pageviews