Mohammad Abduhzen
Salah satu kerisauan pengelola pendidikan tinggi-khususnya (sekarang) Kementerian Riset , Teknologi , dan Pendidikan Tinggi-adalah buruknya kinerja penelitian yang ditunjukkan oleh rendahnya jumlah publikasi dan kutipan ilmiah di jurnal internasional.
Kenyataan ini biasanya dibandingkan dengan Malaysia yang jumlah dosen/profesor dan perguruan tingginya lebih sedikit , tetapi jumlah karya ilmiahnya jauh melampaui kita. Berbagai upaya telah dilakukan kementerian terkait untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas karya ilmiah , di antaranya mengharuskan goresan pena di jurnal nasional dan internasional sebagai persyaratan kenaikan jenjang akademik dan pangkat bagi dosen dan guru. Mengharuskan mahasiswa S-1 , S-2 , dan S-3 memublikasikan karya tulis dalam jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan. Bahkan , bermacam jadwal dan dana penelitian ditawarkan sebagai perangsang. Sayangnya , bermacam-macam upaya itu sampai sejauh ini belum menampakkan hasil berarti lantaran orientasi kebijakan lebih mengutamakan produk daripada proses akademik. Walhasil , acara penelitian kebanyakan bersifat proforma alias basa-basi , bahkan tipu-tipu.
Sesuatu yang disebut karya ilmiah seyogianya lahir dari proses ilmiah , yaitu serangkaian kegiatan telaah dan percobaan mengenali , memahami , dan menemukan fenomena alami dan manusiawi sebagaimana adanya. Istilah ilmiah merujuk kepada kebenaran logis dan atau empiris: bersesuaian dengan kaidah nalar kecerdikan dan didasarkan pada serta didukung fakta dan pengalaman. Bagaimana mungkin produk ilmiah akan meningkat kalau iklim akademik yang menjadi basis kegairahan berproses ilmiah di kebanyakan kampus diabaikan dan , karenanya , makin pudar.
Kampus kita cukup umur ini lebih berbudaya politik dan komersial ketimbang berbudaya akademik. Pemilihan pemimpin perguruan tinggi negeri , sebagai tumpuan , sudah biasa diikuti pembentukan tim sukses , disusul kasak-kusuk (lobi?) di kementerian lantaran menteri mempunyai 35 persen hak bunyi dari total pemilih. Kemudian jajaran di bawahnya kelak disusun berdasarkan kepada intensitas keterlibatan dalam tim sukses , bukan didasarkan kepada kapabilitas. Maka , di kampus tak jarang terbentuk klik-klikan yang lebih suka memproduksi intrik daripada karya ilmiah.
Selain itu , kampus yang oleh undang-undang diberi otonomi bidang akademik dan non-akademik lebih tertarik berbagi kemandirian non-akademik , terutama dalam mencari sumber pemasukan , ibarat bermacam jalur penerimaan mahasiswa , model pembayaran uang kuliah , membuka jadwal studi dan atau kegiatan yang laku manis. Pengelola kampus kesannya lebih fokus memikirkan taktik mencari dana daripada taktik menghidupkan budaya ilmiah.
Kenyataan ini diperparah sistem birokrasi di kementerian pengelola perguruan tinggi (PT) yang rumit dan memerlukan duit dalam pengurusan banyak sekali hal , terlebih bagi PT swasta. Mentalitas birokrat dan korporat kemudian menjalari banyak sekali acara kampus , termasuk urusan akademik dan pendidikan. Maka , jangankan kasmaran dengan kegiatan ilmiah , warga kampus malah sering kali berperilaku irasional dan tak produktif baik dalam interaksi pembelajaran maupun dalam pergaulan sehari-hari.
Dosen kerikil akik
Para pemimpin perguruan tinggi , dosen , bahkan guru besar kebanyakan masih berbudaya feodal dan jarang open minded. Padahal , keterbukaan dan keingintahuan ialah ciri utama budaya akademik. Tak jarang kita menyaksikan civitasacademica mengisi berjam-jam waktu luangnya dengan bermacam-macam kegiatan yang tak terkait pengembangan diri sebagai intelektual , ibarat main gaple , game , dan (belakangan) menggosok-gosok kerikil akik.
Rendahnya publikasi ilmiah hanyalah simtom lemahnya budaya akademik-pemikiran , spirit , dan tradisi-untuk berbagi ilmu pengetahuan di perguruan tinggi. Keunggulan akademik bergantung kepada budaya akademik. Oleh lantaran itu , berdasarkan Daoed Joesoef (Suara Pembaruan , 2/3/2012) masalah pokok yang harus segera ditangani untuk mengatasinya ialah membina kampus menjadi komunitas ilmiah.
Budaya akademik sanggup diwujudkan melalui pola sikap , peraturan , dan akomodasi material pada perguruan tinggi (Xi Shen , 2012). Subyek budaya akademik ialah orang-orang yang mendasarkan perilakunya kepada nilai-nilai ilmu pengetahuan yang terbentuk dari kecintaan dan kebiasaan pada (pencarian) kebenaran. Mereka pelopor utama pembangunan budaya akademik melalui banyak sekali kegiatan yang mereka lakukan. Skala dan tingkat penelitian , kuantitas , dan kualitas prestasi akademik , sangat bergantung kepada kemampuan mereka. Tanpa orang-orang ini kiranya tidak mungkin budaya akademik sanggup ditumbuhkan. Maka , memperbesar jumlah dan tugas kelompok ini merupakan langkah penting pertama dalam upaya membangun budaya akademik.
Pembentukan budaya akademik juga ditentukan oleh dasar dan orientasi kebijakan (terhadap) PT. Ide-ide yang dijalankan , peraturan , dan filosofi manajemen , manajemen , serta hubungan interpersonal kuat besar kepada pembentukan pandangan , spirit , moral , dan atmosfer lingkungan akademik. Karena itu , setiap keputusan yang diambil harus senantiasa melekat kepada fungsi utama pendidikan tinggi yang , berdasarkan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2012 perihal Pendidikan Tinggi (Pasal 4) , ialah berbagi kemampuan nalar kecerdikan dan berbagi ilmu pengetahuan dan teknologi melalui tridarma.
Tridarma PT-pendidikan dan pengajaran; penelitian; dan dedikasi masyarakat-adalah bentuk pengamalan fungsi dasar perguruan tinggi. Pendidikan dan pengajaran di PT , selain mentransmisikan pengetahuan dan informasi ilmiah , juga membentuk pandangan dan sikap ilmiah. Fungsi ini sangat penting mengingat alumni PT lebih berpeluang untuk menjadi pemimpin. Para pemimpin dan lulusan PT diharapkan mendarmabaktikan dirinya kepada masyarakat dengan melaksanakan pencerahan dan memecahkan banyak sekali problem berdasarkan pengalaman dan prinsip ilmiah yang diperolehnya sesuai dengan moto , "Ilmu sebagai alat pengabdian".
Pengabdian masyarakat utamanya bukanlah kerja bakti sekelompok mahasiswa dan atau dosen turun mengadvokasi dan melaksanakan hal remeh-temeh di tengah masyarakat. Darma dedikasi sejatinya ialah bagaimana PT , eksklusif atau tak langsung , menjalankan fungsi saintifik di antaranya mengeksplanasi , memprediksi , serta mendorong masyarakat supaya terhindar dari petaka/kerugian atau memanfaatkan peluang dari perkembangan sikap alami dan manusiawi. PT dengan sentra pengkajian dan penelitiannya seharusnya menjadi kawan tak terpisahkan bagi pemerintah dan industri.
Kegiatan dasar
Penelitian ilmiah ialah kegiatan dasar PT , yang selain bertujuan menguji , berbagi , dan menghasilkan teori , juga sebagai sentra habituasi akademik melalui keterlibatan dalam ilmu sebagai suatu proses. Secara umum karena banyak sekali alasan , gairah penelitian PT kita sangat lemah sehingga aura akademik redup dan karya ilmiah rendah. Meskipun demikian , pada 4.265 PT kita terdapat bab yang tradisi penelitian dan budaya ilmiahnya anggun sehingga sanggup dijadikan basis pengembangan.
Penggabungan pengelolaan PT dengan kementerian riset dan teknologi seyogianya bukan sekadar menempelkan bab terpisah , tetapi membentuk entitas baru yang melahirkan taktik besar riset nasional yang berpusat kepada PT sehingga selain banyak sekali problem teratasi-utamanya material dan finansial -juga penelitian PT mengalami pembaruan. Selanjutnya pembentukan budaya akademik menuntut kondisi material dan finansial tertentu. Bagi penelitian , kondisi kedua hal itu ialah ibarat akar pada pohon dan air pada ikan. Bagian penelitian , di antaranya , memerlukan ruang khusus (sering dikeluhkan para guru besar dan peneliti senior tak mempunyai ruang) , buku-buku , data informasi , instrumen eksperimental , sistem jaringan , dan alokasi dana yang memadai. Dengan dana penelitian memadai , instrumen dan peralatan canggih , sumber daya hebat , data yang dibutuhkan sanggup diejawantahkan. Tanpa pinjaman material dan finansial tertentu , tak ada budaya akademik yang sanggup dimungkinkan dan tak ada prestasi akademik yang patut diharapkan.
Akhirulkalam , untuk memulai "gerakan" membangun budaya akademik , diharapkan prakondisi utama: komitmen pemerintah dan pemimpin PT. Kemudian di kalangan civitas academica lainnya komitmen itu sanggup dimunculkan melalui pengondisian motif dan insentif. Pemerintah telah menawarkan insentif , ibarat tunjangan profesi , tunjangan kehormatan , dan lain-lain. Namun , pengelolaan motif yang berpangkal kepada trust kurang dilakukan dan masih menjadi tantangan di tengah situasi pemerintah dan masyarakat kita yang kian materialistik dan terdemoralisasi.
Mohammad Abduhzen; Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina; Ketua Litbang PB PGRI
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Budaya Akademik"