Yuna Farhan
Upaya DPR mengusulkan jadwal pembangunan tempat pemilihan senilai Rp 15 miliar-Rp 20 miliar per anggota menuai reaksi keras banyak kalangan.
Beberapa anggota DPR bahkan turut mengkritik usulan dana aspirasi yang diperkirakan akan menghabiskan Rp 11 ,2 triliun per tahun ini.
Perlu dicatat , dana ini pernah diusulkan tahun 2010 untuk diajukan pada APBN 2011 , dengan besaran yang tidak jauh berbeda , Rp 15 miliar per anggota. Meskipun usulan ini kandas sesudah publik bereaksi keras , belakang layar praktik ini terus berlangsung. Kasus suap Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) yang menimpa anggota Badan Anggaran mengonfirmasi adanya praktik ini.
Praktik ini juga lazim berlangsung di banyak daerah. Perseteruan Gubernur DKI Jakarta dengan DPRD berkaitan dengan ”dana siluman” pada pembahasan RAPBD DKI Jakarta 2015 merupakan salah satu bentuk ”dana aspirasi”. Di banyak tempat , umumnya dana ini berbentuk santunan sosial ataupun jadwal pembangunan yang sanggup dialokasikan DPRD untuk konstituen di tempat pemilihannya.
Di beberapa negara berkembang praktik ini umumnya dikenal dengan nama Constituency Development Fund (CDF). Tercatat , pada 2010 sekurangnya terdapat 23 negara berkembang di Asia dan Afrika yang mengimplementasikan CDF (International Budget Partnership , 2010).
Kebanyakan negara yang menerapkan praktik ini ialah negara dengan sistem parlementer , yang diduga terkait dengan lemahnya tugas DPR pada sistem ini dalam mengubah anggaran. Tentunya ini tidak berlaku di Indonesia , di mana DPR dijamin undang-undang untuk mengubah anjuran anggaran pemerintah , baik dari sisi pendapatan maupun belanja , sepanjang tidak melebih defisit 3 persen.
Alasan yang mengemuka perlunya dana aspirasi juga hampir sama. Dengan dana aspirasi , legislator sanggup merespons cepat kebutuhan faktual konstituen pada tempat pemilihannya. DPR juga beralasan , adanya dana ini sanggup memangkas rantai birokrasi perencanaan penganggaran yang dianggap kerap mengabaikan kebutuhan masyarakat dan mengakselerasi pembangunan serta ketimpangan daerah.
Jebakan
Jika ini yang dijadikan alasan , seharusnya bukan dana aspirasi yang menjadi anjuran kebijakan DPR. Perbaikan sistem perencanaan penganggaran yang menjawab kebutuhan masyarakat dan sistem dana perimbangan yang seharusnya menjadi kegiatan utama perbaikan. Alih-alih mengatasi problem disparitas antardaerah , dana aspirasi dengan model pukul rata setiap tempat pemilihan dengan keputusan pengalokasian di tangan anggota DPR justru akan merusak sistem dana perimbangan.
Publik juga akan menilai , kelahiran dana aspirasi ialah penanda dari kegagalan DPR dan partai politik dalam melaksanakan tugas sebagai susukan agregasi dan artikulasi aspirasi. Sejatinya , bila tugas ini berjalan , masih terdapat anggaran yang hampir mencapai Rp 2.000 triliun pada APBN yang harus dikritisi DPR sebagai manifestasi fungsi anggarannya.
Ekses negatif yang mungkin timbul , DPR sama saja bunuh diri sebab kehilangan daya kritisnya terhadap anjuran anggaran yang diajukan pemerintah. DPR disibukkan mengurus dana aspirasi untuk tempat pemilihan masing-masing.
Dana aspirasi juga berdampak pada terjadinya perubahan tumpuan korelasi DPR dengan konstituennya. Dari tumpuan korelasi yang bersifat demokratis , di mana DPR seharusnya merepresentasikan kepentingan konstituen pada ranah kebijakan nasional , ke arah korelasi clientelistic , di mana DPR dinilai dari seberapa banyak jadwal pembangunan di tempat pemilihannya.
Bukan mustahil , masyarakat akan beralih menuntut DPR untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di wilayahnya ketimbang kepada pemerintah. Tidak mengherankan bila pemerintah sanggup saja mengalihkan tanggung jawab tuntutan pembangunan kepada DPR.
Legalisasi dana aspirasi
Pengakuan beberapa anggota , lahirnya Pasal 80 Huruf j UU No 17 Tahun 2014 , untuk mengurangi kecemburuan dana aspirasi yang selama ini tidak dinikmati secara adil terhadap semua anggota. Hanya anggota yang berada di alat kelengkapan strategis , menyerupai tubuh anggaran dan komisi yang bersentuhan dengan pelayanan publik pribadi , yang sanggup menikmati dana aspirasi.
Publik mungkin saja tak akan resisten bila diskursus jadwal pembangunan tempat pemilihan tidak melulu soal berapa dana yang dianggarkan dan pukul rata setiap anggota. Legalisasi hak anggota DPR untuk mengusulkan jadwal pembangunan tempat pemilihannya perlu dimaknai sebagai cara untuk mengatasi praktik perburuan rente dan meningkatkan fungsi anggaran DPR dengan fungsi representasi yang menempel di dalamnya.
Untuk menghindari jebakan dana aspirasi , tim yang dibuat Badan Legislasi untuk merumuskan prosedur hak DPR dalam mengusulkan jadwal pembangunan wilayahnya tidak berkutat soal alokasi yang dikhususkan untuk ini.
Hak mengusulkan jadwal pembangunan tempat pemilihan harus diletakkan dalam konteks fungsi anggaran yang lebih luas pada keseluruhan APBN supaya bermanfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang diwakilinya. Agar konstituen sanggup menilai sejauh mana anggota DPR tempat pemilihannya telah memperjuangkan aspirasinya , tim yang dibuat Badan Legislasi ini perlu merumuskan prosedur transparansi dan akuntabilitas.
Misalnya , setiap usulan oleh DPR yang berakibat pada perubahan usulan anggaran yang diajukan pemerintah perlu disampaikan kepada publik. Dengan demikian , sistem ini memungkinkan bagi publik untuk menilai apakah usulan itu sejalan dengan aspirasi konstituen atau tidak.
Pengalaman negara-negara yang menerapkan CDF atau dana aspirasi menunjukkan sulitnya gurita problem dana ini dihilangkan. Hasil penelusuran IBP (2010) , contohnya , mengungkapkan banyak sekali laporan mengenai praktik korupsi dan manipulasi politik terkait dengan penerapan CDF. Oleh sebab itu , penerjemahan sempit hak mengusulkan jadwal pembangunan tempat pemilihan sebagai dana aspirasi tak ayal sanggup menjerumuskan DPR dalam cengkeraman praktik koruptif tersebut.
Yuna Farhan; Mahasiswa PhD University of Sydney
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Jebakan Dana Aspirasi"