Laporan Diskusi Kompas-Murdoch University
Populist Politics in Southeast Asia: Transforming or Impending Democracy?
Seiring dengan tampilnya Joko Widodo di panggung nasional , muncul pertanyaan apakah politik populis ala Jokowi sanggup menandingi politik oligarki yang selama ini menjadi ciri politik nasional? Apakah kekuatan politik populis di Indonesia mempunyai syarat-syarat yang diperlukan untuk menggugurkan politik oligarki?
Sosok Jokowi sudah memunculkan keraguan semenjak pertama mendaftarkan diri sebagai calon presiden dalam Pemilu Presiden 2014. Dia tiba dari Solo , kota kecil di Jawa Tengah , dengan latar belakang pebisnis kelas menengah. Sebaliknya , hampir semua Presiden RI terdahulu tiba dari kalangan elite politik , termasuk keluarga militer.
Dukungan politik untuk Jokowi tiba eksklusif dari rakyat , bukan berbasis partai politik , baik secara ideologi maupun struktur. Dia diusung PDI Perjuangan sebab kader partai tersebut , tetapi tidak berada di dalam kepengurusan inti. Dia juga mempunyai pendukung signifikan dari basis massa nonpartai.
Jokowi juga membawa kegiatan yang berusaha mentransformasikan kehidupan orang Indonesia kebanyakan melalui pembangunan infrastruktur dan program-program sosial. Hal ini kerap dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya yang tanpa ambisi kebijakan khas dan hanya terfokus pada pemeliharaan institusi-institusi politik yang sudah ada , serta sibuk menegosiasikan distribusi kekuatan dan kekayaan di antara kelompok elite.
Popularitas Jokowi menjulang sebab ketika menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta tampil sebagai sosok sederhana , berikut dialog-dialognya dengan warga biasa. Juga , kerap berkunjung dadakan , atau diistilahkan blusukan ke komunitas atau ke kampung-kampung , kegiatan yang atraktif bagi publik yang kecewa dengan pemerintah sebelumnya yang bekerja inefisien.
Rintangan Jokowi
"Kelanggengan" Jokowi di pentas politik nasional dengan demikian sangat bersandar pada kemampuannya mewujudkan janji-janji kampanye yang dianggap pro rakyat banyak melalui reformasi bidang kesehatan masyarakat , pelayanan pendidikan , pembaruan perkotaan , dan pemberantasan korupsi. Atas sejumlah tantangan itu , beliau menghadapi beberapa rintangan.
Yang pertama , tantangan bidang fiskal. Dana belanja publik yang tersedia untuk infrastruktur dan program-program sosial sangat terbatas mengingat sebagian besar , lebih dari 70 persen , pembelanjaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yaitu belanja rutin pegawai. Sementara , kemampuan negara mengonsolidasikan dan memperluas basis pendapatan sangat terbatas.
Problem kedua , bagaimana Jokowi berkompromi dengan kepentingan-kepentingan pegawapemerintah negara , termasuk para pejabat di forum yudikatif , yang hidup dengan budaya birokrasi lama. Tampak kesan mereka enggan mengikuti keadaan terhadap usaha-usaha yang mengarah pada pembentukan pemerintahan transparan dan bertanggung jawab.
Tantangan ketiga tiba dari kepentingan pebisnis dan politisi yang mendukung sistem oligarki yang berkelindan dengan pemerintahan. Fenomena ini akan menghalangi aneka macam upaya mendorong reformasi , termasuk di parlemen.
Oligarki sanggup diartikan sebagai bentuk struktur kekuasaan dengan pemegang kekuasaan efektif berada pada segelintir orang. Dalam konteks Indonesia , oligarki dalam diskusi ini mengacu pada aliansi politik-birokratis dan bisnis yang menggabungkan kepentingan kepingan teratas dari birokrasi negara , partai politik dan pebisnis beserta keluarga mereka. Aliansi ini terbentuk semenjak Orde Baru dan terstruktur dan bertahan sampai ketika ini.
Dilema Jokowi
Dilema Jokowi yaitu ketika beliau bisa menggalang banyak tunjangan ketika pemilu , tetapi pada sisi lain juga harus mengoperasikan mesin politik itu di tengah kepentingan-kepentingan usang yang masih lebih banyak didominasi , berikut basis kelembagaannya. Singkat kata , beliau hadir di sentra kekuasaan tanpa kekuatan mayoritas di tubuh legislatif dan basis partai yang kuat.
Berbeda dari Thaksin Sinawatra di Thailand , Jokowi tidak punya mesin dan sumber daya politik guna secara efektif memobilisasi basis sosial potensial dari kegiatan politik populis yang beliau sodorkan. Satu kemungkinan dari situasi ini yaitu alih-alih menantang atau menandingi oligarki , Jokowi justru besar kemungkinan akan tersedot ke dalam mesin politik oligarki.
Fakta pemberantasan korupsi pada kurun Jokowi , di mana sempat terjadi ketegangan antara KPK dan Polisi Republik Indonesia , menawarkan Jokowi harus berkompromi dengan oligarki politik yang sudah usang eksis.
Pada hasilnya , demi mencegah makin tersedotnya Jokowi ke jeratan oligarki , Jokowi perlu memaksimalkan kerja sembari terus mengonsolidasi pemerintahan. Ini konsekuensi dari pemimpin yang meski didukung massa , tetapi tidak mempunyai mesin dan sumber daya politik mencukupi.
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Politik Populis Terjepit Oligarki"