Juwono Sudarsono
Jelang pertengahan November 1998 , di tengah hiruk-pikuk semboyan "Reformasi Total" di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , saya dipanggil Presiden Abdurrahman Wahid di suatu kediaman di Jalan Irian , Jakarta Pusat.
Kami membahas lingkup dan materi kurikulum sekolah dasar hingga dengan perguruan tinggi. Karena kami yakin materi dan cara pengajaran cepat atau lambat harus diubah , Gus Dur—sapaan bersahabat Abdurrahman Wahid—mengingatkan agar reformasi pendidikan ditelaah secara cermat alasannya perubahan sistem pendidikan perlu waktu. Minimal 1-2 tahun untuk menyusun konsep , 2-3 tahun memasyarakatkan , dan sehabis lima tahun mulai dilaksanakan pada setiap jenjang pendidikan. Saya paham wacana hal ini meski mencicipi betapa sulit memasyarakatkan reformasi yang didorong para tokoh politik yang mendesak biar reformasi dimulai "sekarang juga".
Apalagi reformasi yang mendesak merombak kurikulum , mulai dari perubahan "Bahasa Orde Baru" ke arah "Bahasa Orde Reformasi". Saya teringat pada pemeo "ganti menteri" dan "ganti kurikulum" pada tahun 1960-an dan 1970-an. Dari zaman Menteri Pendidikan dan Pengajaran Priyono hingga Mendikbud Nugroho Notosusanto ,
Saya pikir kini saya bakal kena batunya. Setelah berguru di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia Bagian Publisistik (sekarang Departemen Ilmu Komunikasi Massa , FISIP) , saya mulai berhadapan dengan orang pandai , para jago dari banyak sekali institut keguruan dan ilmu pendidikan seluruh Indonesia yang ingin menyumbang pikiran wacana apa lingkup dan isi kurikulum yang "baik dan benar".
Beruntung saya dibantu Dr Satryo Soemantri Brodjonegoro (Direktur Pembinaan Sarana Akademik) dan Dr Anhar Gonggong (Direktur Nilai Sejarah dan Tradisional) di Depdikbud. Saya dikawal Letnan Jenderal Sofian Effendi , Sekjen Depdikbud yang kebetulan bos saya di Lemhannas 1996-1998. Saya pikir , alasannya saya dibantu teknolog asal Jawa (yang ayahnya , Prof Soemantri Brodjonegoro , pernah menjadi Rektor UI) , oleh sejarawan Bugis-Makassar , dan oleh prajurit Kopassus asal Bireuen , Aceh , agak lengkaplah. Saya dibantu orang yang melambangkan rakyat yang mewakili sebagian besar Indonesia barat dan timur.
Gus Dur berseloroh , "Mas Ju jadi apanya 'Mafia Berkeley'?" Julukan Mafia Berkeley disandangkan kepada sebagian tokoh ekonomi dan manajemen publik yang langsung atau tidak pribadi membantu Prof Widjojo Nitisastro selama 20 tahun lebih (1966-2000).
"Saya hanya kroco bidang politik internasional , Gus , pernah berguru dengan beberapa teman dosen asal Aceh hingga ujung timur di Manado dan Kupang."
"Wah , politik. Kalau begitu Mas Ju jadi tukang tembak (hit-man) ," kata Gus Dur , mengingatkan saya pada film The Untouchables yang diperankan Kevin Costner , Sean Connery , dan Robert De Niro sebagai Al Capone , tokoh durjana Chicago tahun 1929-1930.
"Begini ," kata Gus Dur , "Saya ini ditanyain wacana itu lho , sekolah ruko yang menjamur di mana-mana , termasuk di tempat saya di Ciganjur. Itu namanya sekolah-sekolahan , enggak terperinci alamatnya , enggak terperinci izinnya. Itu namanya sekolah enggak keruan."
"Saya ingat kata-kata Satryo Soemantri Brodjonegoro , kira-kira ada 747 perguruan tinggi swasta di tempat Jabotabek ," kata saya ke Gus Dur. Ia yang pribadi berseloroh: "747? Angka dari mana tuh , kok ibarat banget dengan pesawat Boeing 747?"
"Tahu enggak , Mas ," sambung Gus Dur , "saya ini sudah usang mimpin UCLA , University Ciganjur Lenteng Agung , enggak kalah populer dengan sekolah UC Berkeley atau UC Los Angeles. Saya drop out dari Universitas Baghdad dan cuma mahasiswa pendengar di Al-Azhar , Kairo. Tetapi , saya mahasiswa Sekolah Kehidupan , saya melihat-lihat mengalami kehidupan nyata di lapangan."
Saya mengangguk membisu dan berkata dalam hati , Gus Dur memang sarjana yang sujana , mudah dan rendah hati. Orang Jawa bilang ia itu tidak gumunan , tidak gampang kagetan , tidak mentang-mentang. Gelar apa pun , akademik , susila , gelar keagamaan , tidak ada artinya bila ia tidak menghargai dirinya sendiri dengan berkaca pada pahit getirnya tantangan hidup sehari-hari.
Saya teringat ucapan Bung Karno pada awal 1960-an saat membuka Hari Sarjana UI di Kampus Salemba 4 , Jakarta Pusat.
Mengutip pidato Bung Karno saat memperkenalkan pemimpin Vietnam Ho Chi Minh , saya berkata dalam hati , "Paman Ho tak jawaban sekolah tinggi , tetapi berhasil mengocar-ngacirkan pemerintah kolonial Perancis sehingga tahun 1954 Perancis takluk di Dien Bien Phu dan mundur dari Indo-China.”
Gus Dur ialah sosok genius yang tak perlu mengejar gelar akademik , apalagi dari sekolahan pojok jalan atau ruko murahan yang bertebaran di mana-mana. Tetapi , Gur Dur ibarat juga Ho Chi Minh yang pernah magang sebagai koki di hotel di Place Vendome , Paris , ialah orang yang percaya diri pada garis tangan. Siapa tahu yang mengelola ruko sekolah-sekolahan itu berhasil karena ada tangan Tuhan yang membantunya keluar dari bundar setan kemiskinan. Siapa tahu ijazah palsu yang dipersoalkan itu kelak membantu orang menjadi belajar sendiri , yang alasannya rasa percaya dirinya besar sehingga tak memerlukan gelar: sah atau tidak! Atau , ibarat kata Gus Dur , "Enggak usah repot-repot nertibkan (sekolah di) ruko-ruko itu. Lama-lama capai juga mereka ngurusin ijazah dengan segala tetek bengek cap , laminating dan figura."
Benar juga. Butuh tenaga dan biaya sangat banyak untuk menertibkan sekolah tak karuan itu. Biarkan sekolah tadi layu tak berkembang. Biarkan orang mencari rezeki atau rugi sendiri bila tidak ada peminat yang memercayai iklan yang dipasang di mana-mana dengan biaya semurah atau semahal apa pun. Biarkan ijazah palsu diedarkan hingga orang kapok.
Sekolah Kehidupan hanya perlu pelita hidup dalam hati kita masing-masing. Itulah ijazah yang bergotong-royong kita selalu mencari , dari pengalaman hidup Ho Chi Minh , Gus Dur , dan ratusan tokoh tak bergelar akademik di seluruh pelosok Indonesia.
Juwono Sudarsono; Mendikbud 1998-1999
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Sekolah Kehidupan"