Mochtar Pabottingi
Di tengah-tengah membuncahnya ketakpastian aturan dan kesulitan ekonomi yang mendera ratusan juta kita sebagai bangsa , salah satu yang wajib diingat untuk menolak sinisme-pesimisme ialah kehadiran kontinu dan merata di sekitar kita dari mereka yang sanggup disebut orang-orang yang hidup dalam kredo.
Secara universal , kata kredo dipahami sebagai "dasar tuntunan hidup" (Kamus Besar Bahasa Indonesia) atau "a guiding principle" (Merriam-Webster). Dua-duanya mengacu kepada elan keluhuran insan atau bangsa. Seperti di mana-mana , di Tanah Air pun orang-orang berkredo berasal dari kurun masa berlapis-lapis dan dari aneka asal-usul , sistem nilai , tingkatan sosial maupun bidang kehidupan. Kendati tak selalu mengeksplisitkan kredo mereka , mereka sama-sama tertuntun dasar-dasar atau prinsip-prinsip luhur. Hidup mereka sarat kebajikan dan perjuangan. Mereka sadar dan ikhlas menentukan berbakti kepada sesama serta membangun bangsa di tengah tantangan berat maupun di tengah kesunyian.
Bercita-cita luhur , orang-orang berkredo menjunjung kemanusiaan dengan terus memelihara kemurnian amal. Jika berasal dari tingkat sosial bawah , mereka terus bekerja tanpa tergiur merapatkan diri kepada para penguasa dan pengusaha demi sedekah. Jika berasal dari kalangan menengah , mereka terus berkarya tanpa merendahkan diri demi bahan atau posisi. Jika hartawan , mereka terus menyebarkan tanpa laris pamer. Jika pasca kuasa tetap jaya berkat jasa murni , mereka terus bersedekah tanpa perlu "merinso reputasi" lewat iklan-iklan raksasa epilog noda-noda penyelewengan di masa lalu.
Kisah Pak Dul dan Chris Siner
Di sini , titik masuk tuturan kita wacana orang-orang dalam kredo yaitu dua sosok sederhana yang menjadi informasi nasional baru-baru ini: Pak Dul di Surabaya (Kompas , 17/5) dan Chris Siner Key Timu , tokoh Petisi 50 yang meninggal pada 4 Mei. Pak Dul yaitu tukang becak berusia 65 tahun yang rajin tengah malam menambali lubang jalanan dengan bongkahan aspal , memalu rata cuatan besi tajam di daerah umum biar tak melukai pejalan kaki atau belum dewasa , dan mengantar gratis orang susah dengan becaknya.
Di Surabaya kehidupan demikian sudah dilakoni Pak Dul dalam 10 tahun terakhir. Tak salah kalau Kompas menyebutnya "a day-to-day hero". Sebetulnya , semua pahlawan sejati yaitu "pahlawan sehari-hari". Sebab , kepahlawanan di situ menempel pada abjad , menyerupai kredo menempel kepada jati diri. Ia "built-in" dan terus mengalir dalam hidup sang pahlawan , bukan produk kebetulan atau momenter.
Chris Siner Key Timu (75) , tokoh Petisi 50 itu , mungkin paling aktif mengkritisi pemerintahan sepanjang 35 tahun terakhir. Kita tahu bahwa Petisi 50 yaitu protes paling berbobot kepada Presiden Soeharto yang tak hanya memonopoli kekuasaan , melainkan juga mendaku Pancasila bagi kelompoknya sendiri. Di era Reformasi , Chris tetap mengkritisi pelaksanaan kekuasaan. Dari para figur Angkatan '66 , hanya satu dua yang setara dengannya dalam hal integritas serta konsistensi. Di sepanjang 35 tahun perjuangannya , dikala sebagian besar survivors seangkatannya di organisasi kemahasiswaan telah marem menikmati "hasil usaha mereka" , "Bung Chris"—begitu saya biasa menyapanya—tetap terus terpanggil untuk mengkritisi pemerintahan.
Bersama beberapa sahabatnya yang tersisa dan kader-kader muda yang terus dibinanya , Chris terus hidup sederhana dalam kredo-tiga-butir: "satu kata dengan perbuatan ," mengutamakan kepentingan umum , serta menjaga jarak dengan kekuasaan yang korup. Chris memperjuangkan sistem politik yang adil bagi Indonesia sembari terus menjaga solidaritas dengan puluhan juta rakyat di bawah garis kemiskinan. Pada jalan itulah Bung Chris menemukan kebahagiaan. Dari beberapa kali memenuhi undangannya baik untuk berbicara di depan Petisi 50 semasa Bang Ali Sadikin maupun pada program lainnya , tak sekalipun saya menjumpainya tanpa wajah cerah atau semangat prima. Sejatinya , Chris Siner Key Timu yaitu seorang optimistis sejati.
Selain Pak Dul , masih banyak pahlawan lain pada jenjang sosial bawah , lelaki maupun perempuan. Jika kita membuka kembali edisi Kompas kemudian , akan tersimak bahwa dari seluruh pelosok Tanah Air tak terhitung pahlawan yang membarengi bakti Pak Dul. Dan itu semua mereka lakukan suka rela dan sepenuh hati.
Di Desa Modo , Kabupaten Buol , Agapitus Tandi (49) meramu pupuk organik dari daun gamal , siput , dan bonggol pisang demi pertanian di sekitarnya. Di Gunung Kidul , DIY , Sutarti (56) mendidik belum dewasa berkebutuhan khusus. Di Pulau Tidung , Kepulauan Seribu , Erik (47) merawat terumbu karang. Dari Bantaeng , Sulawesi Selatan , Herawanty (35) mengajari wanita pesisir berdikari dengan hasil-hasil maritim hingga ke pelosok Kalimantan , Maluku Utara , dan Sumatera. Di pedalaman Sumba , Kamilus Pati Wayon (51) merawat belum dewasa telantar. Dari Tanjung Pinang , Ady Indra Pawennari (42) menghidupkan kembali lahan-lahan tandus bekas tambang dengan serat sabuk kelapa. Dan , dari Sei Gohong , Palangkaraya , Cristiyani Margaretha (42) melaksanakan penyuluhan pertanian-peternakan untuk memakmurkan masyarakat desa-desa di dalamnya.
Sama dengan Pak Dul , Chris Siner Key Timu tidaklah sendiri dalam usaha , kepedulian , dan kebersahajaan. Rata-rata mendahului , sewaktu , atau merupakan senior dari Chris , kita niscaya sanggup menyebut SK Trimurti , Koentjaraningrat , Sarbini Sumawinata , Ali Sadikin , Hoegeng Iman Santoso , Yo Masdani , Selo Soemardjan , Sajogyo , Soedjatmoko , Ibu Kasur , Mochtar Lubis , Baharuddin Lopa , Sartono Kartodirdjo , Harsja W Bachtiar , Mattulada , Umar Kayam , dan YB Mangunwijaya-untuk menyebut segelintir dari tak terhitung tokoh luhur sejiwa di Tanah Air.
Asketisisme intelektual
Ke-17 tokoh yang saya sebut di atas semuanya sudah mendiang. Separuh di antaranya yaitu profesor dari aneka disiplin , dua sastrawan , dan 10 mempunyai kumulasi jasa , karya , keberanian , dan keteladanan gemilang. Kendati mereka semua tergolong kelas sosial menengah-atas dan beberapa bahkan mempunyai reputasi internasional serta dua orang , kalau mau , berpeluang menjadi kaya raya , mereka semua tegar menentukan hidup sederhana dari hasil jerih payah terpuji. Sebagai doktor/profesor atau pejabat tinggi , sebagian besar tokoh di atas teguh hidup dalam moda "asketisisme intelektual" atau "prihatin bermartabat" dalam arti sesungguhnya. Seperti Bung Chris , mereka yaitu "a company of concerned and exemplary citizens"—himpunan warga negara teladan yang sarat kepedulian. Persentuhan pribadi atau percakapan sekali dua dengan sebagian besar dari mereka merupakan rahmat tak terhingga dan oasis perguruan tinggi tak kunjung habis bagi dahaga jiwa saya sendiri.
Tanpa membeda-bedakan kesetaraan keutamaan di antara mereka dan semata untuk membumikan apa yang kita sebut hidup dalam kredo , mari kita simak sosok YB Mangunwijaya dan Hoegeng Iman Santoso. "Romo Mangun" , panggilan dekat rohaniwan , pelopor , dan sastrawan jago , pejuang kemerdekaan ini hidup dengan kredo "bertuhan berarti memuliakan martabat manusia". Bertahun-tahun hidup membela rakyat tertindas dan terpinggirkan , Romo Mangun termasuk pendamping para petani yang dizalimi Orde Baru dalam kasus Kedung Ombo. Berkat kegigihan perjuangannya , ia berhasil mengubah permukiman kumuh di sepanjang Kali Code , Yogyakarta , serta memberdayakan penduduk miskin di dalamnya. Lantaran itulah ia memperoleh The Aga Khan Award (1992).
Pak Hoegeng hidup dan berkiprah sebagai pejabat dengan keteladanan cemerlang. Pesan rendah-hati beliau: "Adalah baik menjadi orang penting , tetapi lebih penting menjadi orang baik." Tetapi , dalam rumusan saya kredo yang pada hakikatnya ia sandang hingga ke titik tamat hidupnya ialah "Berbakti ikhlas dan lingkaran bagi bangsa."
Hingga sebagai Kepala Polisi Republik Indonesia , tak sekali pun Pak Hoegeng memanfaatkan jabatan buat memperkaya diri. Beliau menolak kemudahan lebih , apalagi sogokan pengusaha hitam. Pelbagai uluran kebaikan , termasuk yang kecil-kecil , ia tolak tegas. Toko bunga Ibu Merry , istri ia , juga ditutup demi integritas. Jika bawahannya alpa , Pak Hoegeng turun sendiri mengatur kemudian lintas.
Keberanian Pak Hoegeng membongkar kasus Robby Cahyadi dan kasus Sum Kuning menyerempet pucuk kekuasaan Orde Baru. Beliau dipensiun dini sebagai Kepala Polisi Republik Indonesia oleh Presiden Soeharto di usia 49 dan ditawari menjadi duta besar di Eropa. Jawaban ia , "Saya polisi , bukan politisi." Beliau lebih menentukan menjadi pelukis dan tampil reguler di TVRI untuk bernyanyi serta memainkan ukulele bersama The Hawaiian Seniors. Terutama di situlah kala membawakan lagu-lagu teduh wajah Pak Hoegeng yang sungguh higienis dan bening terekam awet di hati kita.
Pada bangsa kita , orang yang hidup dalam kredo terus berkiprah di seluruh pelosok Tanah Air dan menjangkau berabad-abad ke masa silam. Mereka mematri sejarah sebelum maupun setelah kurun para Bapak Bangsa kita. Sumpah Pemuda; Bhinneka Tunggal Ika; "Raja alim raja disembah , raja lalim raja disanggah"; "Sebaik-baik orang 'edan' , masih lebih baik orang yang ingat dan waspada"; atau "ade temmakkiana temmakkieppo" (Hukum tak pilih kasih , tak pandang keluarga); dan Sumpah Palapa—semua ini sanggup disebut rangkaian kredo bangsa kita. Sultan Hasanuddin menggunakan kredo "mare liberum" Grotius untuk menampar VOC. Kita pun mencatat kedua "kredo kedaulatan" Chairil Anwar: "Punah di atas menghamba , binasa di atas ditindas" dan "Di uratku di uratmu kapal-kapal kita bertolak dan berlabuh." Sulit dibantah bahwa Candi Borobudur yaitu buah kredo maha gemilang dari leluhur kita. Bermodal kekayaan nalar kebijaksanaan , bangsa kita insya Allah akan kembali menapak masa depannya secara terhormat!
Dari rujukan kecil "kerja sama" antara Pak Dul dan Ibu Tri Rismaharini dalam membenahi jalan-jalan "Kota Pahlawan" , dari rangkaian berabad-abad peperangan proto-nasion melawan penjajah , dan dari Kebangkitan Nasional serta Revolusi Kemerdekaan , kredo-kredo luhur yaitu kekuatan yang selalu bergerak terhimpun dan mewujudkan karya-karya monumental. Pancasila yaitu himpunan kredo makropolitik tercerahkan dari negara-bangsa kita. Dan , tidak hanya mereka yang nama-namanya kita angkat di sini , melainkan simpel semua orang berkredo di Tanah Air , "orang besar" maupun "orang kecil" , yaitu penjunjung serta pengamal kasatmata dan konsekuen darinya.
Keputusasaan , sinisme , dan pesimisme yang sekarang menyebar di Tanah Air akan memperoleh antidotnya kalau kita menyadari bahwa di sekitar kita sekarang , dulu maupun nanti , selalu ada tak terhitung orang yang sepenuhnya ikhlas bekerja bagi sesama dan bagi bangsa. Sinisme akan memenangkan kezaliman. Optimisme akan memenangkan keluhuran. Selalu ada orang bajik sederhana , menyerupai Pak Dul dan Bung Chris bahkan di kampung daerah kita tinggal. Juga selalu berlangsung perlombaan kebajikan intra dan antarkomunitas. Itu senantiasa perlu kita nyatakan dalam jiwa , dalam wacana , dan dalam kiprah. Sebab , situasi akan menjadi sebagaimana kita merumuskannya!
Mochtar Pabottingi; Profesor Riset LIPI
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Orang-Orang Dalam Kredo"